Rabu, 16 September 2009

Tafsir Ayat Kursi

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”
Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.
Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ
“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.
Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.
Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”
Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.
Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:
Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض فَلاَةٍ
“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
“Dan Allah tidak terberati pemeliharaan keduanya.”
Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”
Ia menjawab, “Di langit.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)
Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.

Keutamaan ayat kursi

Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.
Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku pun menjawab,
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)
Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:
مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُمْسِيَ
“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ
“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.

Berhaji dengan berjalan kaki

Sebuah kisah yang sangat mengharukan. Mengharukan bagi siapa saja, yang masih memiliki setetes iman. Hanya setetes iman, itu sudah cukup untuk memahami perubahan kehidupan yang terjadi. Peristiwa yang penuh dengan keniscayaan.

Adalah Abdul Hamid bin Muhammad mendengar Muhammad bin As-Sammak berkisah, “Sesungguhnya Musa bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah anak muda paling kaya, dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya. Dia selalu mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati berbagai macam kelezatan, dalam makanan, minuman, pakaian, wewangian, dan dayang-dayang yang cantik. Sulaiman, tak pernah lepas dari pikirannya, bagaimana menikmati kelezatan hidup.

Musa merupakan pemuda yang tampan, wajahnya bulat seperti rembulan, jernih, putih kemerah-merehan, dan rambutnya hitam legam, hidungnya mancung, matanya bercelak sangat hitam dan lebar, seperti mata kijang, dan mampu menyihir orang yang memandangnya. Kelopaknya tinggi, kedua alisnya sejajar, bagaikan dilukis dengan pensil alis, mulutnya mungil, kedua bibirnya tipis, gigi seri putih cemerlang, lisahnnya fasih, bicaranya manis, suaranya lembut, dan memang dia mendapatkan nikmat dari Allah yang sempurna.

Penghasilannya dari perkebunan dan ladangnya setiap tahunnya berkisar tiga juga dirham. Semua kinikmatan ini berlanjut, tanpa pernah putus, sehingga membuatnya terpesona akan dirinya sendiri. Masa mudanya dan dunianya yang dapat memenuhi semua yang yang diinginkannya.

Musa mempuyai balkon yang tinggi tempat dia duduk di waktu sore sambil mengawasi orang-orang dibawahnya. Balkon itu mempunyai beberapa pintu yang menghubungkan jalan raya dan beberapa pintu yang menghubungkan ke perkebunannya. Selain itu, dipasang kubah gading gajah yang dibubut dan dilapisi dengan perak dan emas, lalu ditutup dengan kain tenun berwarna hijau dan dilapisi dengan kain sutera yang halus.

Dari atas kubah itu, digantungkan rantai yang diuntai dari permata dan intan, serta disinari dengan batu yakut merah, batu zabarjad (sejenis zamrud) hijau dan batu akik berwarna kuning. Masing-masing permata itu sebesar buah kenari. Pada masing-masing pintu diberi tenda yang ditenun dengn benang emas, dan di sekitar kubah itu diletakkan tiga puluh lilin yang dipasang di tiga puluh tempat lilin yang terbuat dari perak.

Sedangkan berat masing-masing lilin perak itu senilai seribu dirham,dan di setiap lima tempat lilin perak terdapat seorang pelayan yang berdiri memegang pemotong dari emas seberat seratus miskal. Para pelayan itu memakai pakaian warna-warni dan ikat pinggang yang ditaburi dengan batu permata. Di setiap pintu bagianlluar dari jendela digantungkan lampu-lampu yang diikat dengan rantai dari perak dan minyaknya terbuat dari air raksa murni.

Musa berada diatas tempat tidur memakai pakaian dalam yang ditenun garis-garis, kepalanya dihiasi dengan mahkota. Dia ditemani oleh beberapa orang kerabatnya, dan tempat pembakar dupa dipasang untuk mendatangkan asap yang harum. Di dekat kepala berdiri para pelayan yang memegang kipas dan tempat air, para penyanyi wanita berada di depannya, sambil menyanyikan lagu-lagu, yang meninakbobokkannya.

Tak pernah ketinggal dayang-dayang yang sangat cantik, tak beranjak dari tempat tidurnya. Dia terus bermain dengan teman-temannya, tak pernah melaksanakan shalat. Menikmati permainannya dengan dadu, dan minum-minum, tak sedikitpun mengingat kamatian, dan sepanjang hari, siang dan malam, hanyalah tertawa-tawa, penuh dengan kegembiraan, sambil mendengarkan cerita-cerita yang lucu, terkadang konyol.

Suatu ketika Musa ditengah malam, dia mendengarkan suara yang aneh, lalu menyuruh pembantunya mencari suara itu. Suara itu mampu menggelitik hatinya. Diatas kubahnya itu, Musa melihat keluar, dan ingin mendengarkan suara-suara yang menyentuh hatinya itu. Ternyata suara itu datang dari pemuda yang kumal, bernama Kamal, yang badannya kurus, berleher kecil, berkaki kuning, bibirnya kering, rambutnya acak-acakan, perutnya menempel ke punggungnya kempis kurang makan, memakai dua helai pakaian yang sudah usang dan tidak memakai alas kaki.

Pemuda kumal itu berdiri pada salah satu sisi masjid sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka para pelajan Musa mengeluarkan dari masjid, dan membawanya pergi tanpa mengatakan apapun kepadanya sampai dihadapan Musa. Maka, Musa memandangnya, seraya berakata, ‘Siapa ini?”, tanyanya. “Pemilik alunan suara yang anda dengar tadi”, jawab pelayan. “Di mana kalian menemukannya?”, tanya Musa “Di masjid sedang berdiri bersembahyang dan membaca do’a”, jawab pelayan itu. Kemudian, Musa bertanya kepada pemuda itu, “Wahai pemuda, apa yang kau baca?”, tanya Musa. “Perdengarkan aku dengan suara alunanmu”, kata Musa.

Maka pemuda itu mengalunkan suaranya, “Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) diatas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minuman khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi, danuntuk yang demikian itu hendaknya orangt berlomba-lomba. Dan, campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah”. (Al-Qur’an :88 ;22-28)

Kemudian, pemuda yang kurus dan lusuh itu berkata, “Wahai orang yang terlena, sesungguhnya kenikmatan surga itu berbeda dengan kediaman, balkon dan pembaringanmu itu. Sesungguhnya pembaringan di surga itu adalah dipan-dipan yan digelari dengan permadani yang terangkat tinggi terbang”, ucap pemuda itu. Selanjutnya, pemuda itu menambahkannya, “Wali (kekasih) allah akan memperoleh kehormatan dari surga itu atas dua mata air yang mengalir dari dua surga”, tambahnya.

Mendengar alunan suara (ayat-ayat al-Qur’an) itu, lalu Musa memeluk pemuda yang kurus dan lusuh itu, sambil terus menangis yang tiada henti-hentinya. Besok paginya ia melaksanakan tobatnya. Musa al-Hasyimi terus di masjid, sambil beribadah, tiada putus menangis, menyesali dirinya yang penuh dengan dosa dan maksiat, serta tak pernah mengingat Rabbnya. “Wahai Tuhanku, aku tidak pernah mempertahikan-Mu dalam kesunyianku. Wahai Tuhanku, syahwatku telah tiada dan tinggallah kini pertanggungjawabanku. Mak neraka Wail bagiku pada hari aku bertemu dengan Mu, nereka Wail karena hari-hari ku penuh dengan kejahatan dan kesalah-salahan”, tangisnya.

Keesokan harinya seluruh harta bendanya, yang dia miliki dijual, berupa emas, perak, permata, pakaiannya, perkebunan, ladang, serta budak-budaknya yang cantik-cantik, semuanya dijualnya, dan hasilnya disedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin.

Lalu, diakhir hidupnya yang sudah miskin itu, ia pergi haji dengan berjalan kaki, tanpa alas kaki, berjalan kaki menelusuri padang pasir yang panas terik, sebagai bagian dari penebus dosanya. Ia pergi ke Makkah, hanya berjalan kaki, tanpa alas. Sungguh, tak ada bandingnya penyesalan atas dosanya itu. Sampailah Musa di kota Makkah. Dan, setiap hari ia hanya beribadah dan memohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla, sambil mengilingi Ka’bah. Di waktu malam ia terus mengelilingi Ka'bah, dan masuk ke Ijir Ismail, seraya mengucapkan tobatnya :

“Ya Rabb, Engkau mengetahui segala perbuatanku. Ya Rabb, kepada siapakah aku lari, kecuali hanya kepada Mu. Dan, kepada siapakah aku berlindung, kecuali hanya kepada Mu. Ya Rabb, sesungguhnya aku memang tidak layak mendapatkan surga Mu, namun aku memohon dengan kedermawanan Mu dan kemuliaan Mu, agar sudilah Engkau mengasihiku dan memaafkanku”, tangis Musa. Sambil ia terduduk di depan Ka’bah.

Wajahnya penuh dengan kerut, seakan sudah sangat tua, dan hidupnya selalu dipenuhi dengan kepedihan mengingat dosa di waktu muda itu. Di saat munajatnya, yang dengan hati yang tulus itu, Musa al-Hasyimi kembali kepada Rabbnya. Wallahu ‘alam.