Rabu, 16 September 2009

Tafsir Ayat Kursi

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”
Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.
Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ
“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.
Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.
Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”
Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.
Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:
Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض فَلاَةٍ
“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
“Dan Allah tidak terberati pemeliharaan keduanya.”
Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”
Ia menjawab, “Di langit.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)
Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.

Keutamaan ayat kursi

Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.
Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku pun menjawab,
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)
Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:
مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُمْسِيَ
“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ
“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.

Berhaji dengan berjalan kaki

Sebuah kisah yang sangat mengharukan. Mengharukan bagi siapa saja, yang masih memiliki setetes iman. Hanya setetes iman, itu sudah cukup untuk memahami perubahan kehidupan yang terjadi. Peristiwa yang penuh dengan keniscayaan.

Adalah Abdul Hamid bin Muhammad mendengar Muhammad bin As-Sammak berkisah, “Sesungguhnya Musa bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah anak muda paling kaya, dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya. Dia selalu mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati berbagai macam kelezatan, dalam makanan, minuman, pakaian, wewangian, dan dayang-dayang yang cantik. Sulaiman, tak pernah lepas dari pikirannya, bagaimana menikmati kelezatan hidup.

Musa merupakan pemuda yang tampan, wajahnya bulat seperti rembulan, jernih, putih kemerah-merehan, dan rambutnya hitam legam, hidungnya mancung, matanya bercelak sangat hitam dan lebar, seperti mata kijang, dan mampu menyihir orang yang memandangnya. Kelopaknya tinggi, kedua alisnya sejajar, bagaikan dilukis dengan pensil alis, mulutnya mungil, kedua bibirnya tipis, gigi seri putih cemerlang, lisahnnya fasih, bicaranya manis, suaranya lembut, dan memang dia mendapatkan nikmat dari Allah yang sempurna.

Penghasilannya dari perkebunan dan ladangnya setiap tahunnya berkisar tiga juga dirham. Semua kinikmatan ini berlanjut, tanpa pernah putus, sehingga membuatnya terpesona akan dirinya sendiri. Masa mudanya dan dunianya yang dapat memenuhi semua yang yang diinginkannya.

Musa mempuyai balkon yang tinggi tempat dia duduk di waktu sore sambil mengawasi orang-orang dibawahnya. Balkon itu mempunyai beberapa pintu yang menghubungkan jalan raya dan beberapa pintu yang menghubungkan ke perkebunannya. Selain itu, dipasang kubah gading gajah yang dibubut dan dilapisi dengan perak dan emas, lalu ditutup dengan kain tenun berwarna hijau dan dilapisi dengan kain sutera yang halus.

Dari atas kubah itu, digantungkan rantai yang diuntai dari permata dan intan, serta disinari dengan batu yakut merah, batu zabarjad (sejenis zamrud) hijau dan batu akik berwarna kuning. Masing-masing permata itu sebesar buah kenari. Pada masing-masing pintu diberi tenda yang ditenun dengn benang emas, dan di sekitar kubah itu diletakkan tiga puluh lilin yang dipasang di tiga puluh tempat lilin yang terbuat dari perak.

Sedangkan berat masing-masing lilin perak itu senilai seribu dirham,dan di setiap lima tempat lilin perak terdapat seorang pelayan yang berdiri memegang pemotong dari emas seberat seratus miskal. Para pelayan itu memakai pakaian warna-warni dan ikat pinggang yang ditaburi dengan batu permata. Di setiap pintu bagianlluar dari jendela digantungkan lampu-lampu yang diikat dengan rantai dari perak dan minyaknya terbuat dari air raksa murni.

Musa berada diatas tempat tidur memakai pakaian dalam yang ditenun garis-garis, kepalanya dihiasi dengan mahkota. Dia ditemani oleh beberapa orang kerabatnya, dan tempat pembakar dupa dipasang untuk mendatangkan asap yang harum. Di dekat kepala berdiri para pelayan yang memegang kipas dan tempat air, para penyanyi wanita berada di depannya, sambil menyanyikan lagu-lagu, yang meninakbobokkannya.

Tak pernah ketinggal dayang-dayang yang sangat cantik, tak beranjak dari tempat tidurnya. Dia terus bermain dengan teman-temannya, tak pernah melaksanakan shalat. Menikmati permainannya dengan dadu, dan minum-minum, tak sedikitpun mengingat kamatian, dan sepanjang hari, siang dan malam, hanyalah tertawa-tawa, penuh dengan kegembiraan, sambil mendengarkan cerita-cerita yang lucu, terkadang konyol.

Suatu ketika Musa ditengah malam, dia mendengarkan suara yang aneh, lalu menyuruh pembantunya mencari suara itu. Suara itu mampu menggelitik hatinya. Diatas kubahnya itu, Musa melihat keluar, dan ingin mendengarkan suara-suara yang menyentuh hatinya itu. Ternyata suara itu datang dari pemuda yang kumal, bernama Kamal, yang badannya kurus, berleher kecil, berkaki kuning, bibirnya kering, rambutnya acak-acakan, perutnya menempel ke punggungnya kempis kurang makan, memakai dua helai pakaian yang sudah usang dan tidak memakai alas kaki.

Pemuda kumal itu berdiri pada salah satu sisi masjid sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka para pelajan Musa mengeluarkan dari masjid, dan membawanya pergi tanpa mengatakan apapun kepadanya sampai dihadapan Musa. Maka, Musa memandangnya, seraya berakata, ‘Siapa ini?”, tanyanya. “Pemilik alunan suara yang anda dengar tadi”, jawab pelayan. “Di mana kalian menemukannya?”, tanya Musa “Di masjid sedang berdiri bersembahyang dan membaca do’a”, jawab pelayan itu. Kemudian, Musa bertanya kepada pemuda itu, “Wahai pemuda, apa yang kau baca?”, tanya Musa. “Perdengarkan aku dengan suara alunanmu”, kata Musa.

Maka pemuda itu mengalunkan suaranya, “Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) diatas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minuman khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi, danuntuk yang demikian itu hendaknya orangt berlomba-lomba. Dan, campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah”. (Al-Qur’an :88 ;22-28)

Kemudian, pemuda yang kurus dan lusuh itu berkata, “Wahai orang yang terlena, sesungguhnya kenikmatan surga itu berbeda dengan kediaman, balkon dan pembaringanmu itu. Sesungguhnya pembaringan di surga itu adalah dipan-dipan yan digelari dengan permadani yang terangkat tinggi terbang”, ucap pemuda itu. Selanjutnya, pemuda itu menambahkannya, “Wali (kekasih) allah akan memperoleh kehormatan dari surga itu atas dua mata air yang mengalir dari dua surga”, tambahnya.

Mendengar alunan suara (ayat-ayat al-Qur’an) itu, lalu Musa memeluk pemuda yang kurus dan lusuh itu, sambil terus menangis yang tiada henti-hentinya. Besok paginya ia melaksanakan tobatnya. Musa al-Hasyimi terus di masjid, sambil beribadah, tiada putus menangis, menyesali dirinya yang penuh dengan dosa dan maksiat, serta tak pernah mengingat Rabbnya. “Wahai Tuhanku, aku tidak pernah mempertahikan-Mu dalam kesunyianku. Wahai Tuhanku, syahwatku telah tiada dan tinggallah kini pertanggungjawabanku. Mak neraka Wail bagiku pada hari aku bertemu dengan Mu, nereka Wail karena hari-hari ku penuh dengan kejahatan dan kesalah-salahan”, tangisnya.

Keesokan harinya seluruh harta bendanya, yang dia miliki dijual, berupa emas, perak, permata, pakaiannya, perkebunan, ladang, serta budak-budaknya yang cantik-cantik, semuanya dijualnya, dan hasilnya disedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin.

Lalu, diakhir hidupnya yang sudah miskin itu, ia pergi haji dengan berjalan kaki, tanpa alas kaki, berjalan kaki menelusuri padang pasir yang panas terik, sebagai bagian dari penebus dosanya. Ia pergi ke Makkah, hanya berjalan kaki, tanpa alas. Sungguh, tak ada bandingnya penyesalan atas dosanya itu. Sampailah Musa di kota Makkah. Dan, setiap hari ia hanya beribadah dan memohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla, sambil mengilingi Ka’bah. Di waktu malam ia terus mengelilingi Ka'bah, dan masuk ke Ijir Ismail, seraya mengucapkan tobatnya :

“Ya Rabb, Engkau mengetahui segala perbuatanku. Ya Rabb, kepada siapakah aku lari, kecuali hanya kepada Mu. Dan, kepada siapakah aku berlindung, kecuali hanya kepada Mu. Ya Rabb, sesungguhnya aku memang tidak layak mendapatkan surga Mu, namun aku memohon dengan kedermawanan Mu dan kemuliaan Mu, agar sudilah Engkau mengasihiku dan memaafkanku”, tangis Musa. Sambil ia terduduk di depan Ka’bah.

Wajahnya penuh dengan kerut, seakan sudah sangat tua, dan hidupnya selalu dipenuhi dengan kepedihan mengingat dosa di waktu muda itu. Di saat munajatnya, yang dengan hati yang tulus itu, Musa al-Hasyimi kembali kepada Rabbnya. Wallahu ‘alam.

Minggu, 30 Agustus 2009

Ganasnya Syirik!

Syirik merupakan dosa paling besar, kezaliman yang paling zalim, dosa yang tidak akan diampuni Allah, dan pelakunya diharamkan masuk surga serta seluruh amal yang pernah dilakukannya selama di dunia akan hangus dan sia-sia. Oleh sebab itu mengenal hakikat syirik dan bahayanya adalah perkara yang sangat penting.

Hakikat syirik
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai umat manusia, sembahlah (Allah) Rabb yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dia itu lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia pula yang telah menurunkan air hujan dari langit sehingga mampu mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezki untuk kalian maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah sedangkan kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 21-22).

Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala menyatakan secara tegas yang artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). Dari ayat-ayat tersebut kita mengetahui bahwa Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk berbuat syirik atau mengangkat tandingan bagi Allah, yaitu menyembah selain Allah di samping menyembah Allah. Dengan demikian ibadah adalah salah satu kekhususan yang hanya boleh ditujukan kepada Allah, karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah perbuatan syirik.

Dosa yang paling besar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 48, 116). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Dengan ayat ini maka jelaslah bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Karena Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi orang yang tidak bertaubat darinya…” (Fathul Majid). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar ?” Maka beliau menjawab, “Yaitu engkau mengangkat tandingan/sekutu bagi Allah (dalam beribadah) padahal Dia lah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, ayahnya berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar ?”. Beliau bertanya sebanyak tiga kali. Para sahabat menjawab, “Mau wahai Rasulullah !” Lalu beliau bersabda, “Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Lalu beliau duduk tegak setelah sebelumnya bersandar seraya melanjutkan sabdanya, “Ingatlah, begitu juga berkata-kata dusta.” Beliau mengulang-ulang kalimat itu sampai-sampai aku bergumam karena kasihan, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itulah, Adz Dzahabi yang menulis kitab Al Kaba’ir menempatkan dosa syirik kepada Allah sebagai dosa besar nomor satu sebelum dosa-dosa yang lainnya. Beliau berkata, “Dosa besar yang terbesar adalah kesyirikan kepada Allah ta’ala..” (Al Kaba’ir)

Kezaliman yang paling zalim
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan” (QS. Al Hadiid : 25). Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di dalam ayat ni Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya supaya manusia menegakkan al qisth yaitu keadilan. Salah satu nilai keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan yang terbesar dan pilar penegaknya. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil (Ad Daa’ wa Ad Dawaa’). Perhatikanlah firman Allah yang mulia yang mengisahkan nasehat seorang ayah yang bijak kepada puteranya, yang artinya, “Wahai puteraku, janganlah berbuat syirik kepada Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman : 13).

Ibadah adalah hak Allah, maka memperuntukkan ibadah kepada selain Allah adalah pelanggaran hak. Oleh sebab itu syirik disebut sebagai kezaliman, bahkan inilah kezaliman terbesar yang harus ditumpas oleh umat manusia! Sampai-sampai beberapa hari menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih sempat memperingatkan umat dari bahaya syirik dalam masalah kuburan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan itu.” ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memberikan peringatan keras dari perbuatan mereka itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pelanggaran terhadap hak Sang pencipta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba dan hak hamba atas Allah ?” Maka Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Rasul bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedangkan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa hamba yang tidak mepersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”(HR. Al Bukhari dan Muslim). Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hak yang harus ditunaikan oleh para hamba. Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak ini maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak yang paling agung.” (Hushul Al Ma’mul)

Dosa yang tak terampuni
Seandainya seorang hamba berjumpa dengan Allah ta’ala dengan dosa sepenuh bumi niscaya Allah akan mengampuni dosa itu semua, akan tetapi tidak demikian halnya bila dosa itu adalah syirik. Allah ta’ala berfirman melalui lisan Nabi-Nya dalam sebuah hadits qudsi, “Wahai anak Adam, seandainya engkau menjumpai-Ku dengan membawa dosa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku, niscaya Akupun akan menjumpaimu dengan ampunan sepenuh itu pula” (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah 127). Bahkan, di dalam Al Qur’an Allah telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah tingkatan syirik bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisaa’ : 48 dan 116).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni dosa syirik, artinya Dia tidak mengampuni hamba yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan musyrik, dan (Dia mengampuni dosa yang dibawahnya bagi orang yang dikehendaki-Nya); yaitu dosa-dosa (selain syirik-pent) yang akan Allah ampuni kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya.” ( Tafsir Ibnu Katsir).

Kekal di dalam neraka
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al Bayyinah : 6).

Dari Jabir radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yang berjumpa Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya, niscaya masuk surga. Dan barang siapa yang berjumpa Allah dalam keadaan memepersekutukan sesuatu dengan-Nya, maka dia masuk neraka.” (HR. Muslim)

Pemusnah pahala amalan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya ?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya ?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Qur’an. Dia didatangkan kemudian diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena-Mu.” Allah berfirman, ”Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Qur’an supaya disebut sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).

Kehilangan rasa aman dan petunjuk
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah” (QS. Al An’aam : 82). Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ketika ayat ini diturunkan para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?” Maka Rasulullah pun menjawab, ”Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna,”Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya,”Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar”.” (HR. Bukhari). Semoga Allah menyelamatkan diri kita dari bahaya syirik, yang tampak maupun yang tersembunyi.

Menghidupkan Malam Ramadhan dengan Shalat Tarawih


Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya “istirahat” karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi, shalat tarawih dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. Shalat tarawih ini disyari’atkan dilakukan secara berjama’ah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat setelahnya.

Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123).

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635). Oleh karena itu, jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)

Yang membenarkan pendapat di atas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim). Begitu pula anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbanyak sujud dalam sabda beliau, “Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat. Ada sebagian ulama yang membatasinya dengan 11 raka’at. Mayoritas ulama mengatakan shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir).

Al Kasaani mengatakan, “ ’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)

Ulama lainnya mengatakan lagi bahwa shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Juga ada yang mengatakan mengatakan bahwa shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan.

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdiri yang agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756). Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits ini adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3)

Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117). Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)

Salam Setiap Dua Raka’at

Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at”. (HR. Bukhari dan Muslim). Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)

Kesalahan-Kesalahan dalam Shalat Tarawih

  1. Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
  2. Dzikir Jama’ah dengan dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
  3. Bubar sebelum imam selesai shalat malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

Demikian beberapa pembahasan mengenai shalat tarawih. Semoga kita dapat menghidupkan bulan Ramadhan dengan amalan yang satu ini. Semoga Allah menambahkan pada kita ilmu yang bermanfaat dan memberi taufik untuk beramal sholeh dengan selalu mengharap wajah-Nya dan mengikuti tuntunan Nabi-Nya. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.