Kamis, 20 November 2008

Sepuluh Sahabat Yang Dijamin Masuk Surga

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang petama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Qs At-Taubah : 100) Berikut ini 10 orang sahabat Rasul yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam).
1. Abu Bakar Siddiq ra.Beliau adalah khalifah pertama sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu Abu bakar juga merupakan laki-laki pertama yang masuk Islam, pengorbanan dan keberanian beliau tercatat dalam sejarah, bahkan juga didalam Quran (Surah At-Taubah ayat ke-40) sebagaimana berikut : “Jikalau tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seseorang dari dua orang (Rasulullah dan Abu Bakar) ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Abu Bakar Siddiq meninggal dalam umur 63 tahun, dari beliau diriwayatkan 142 hadiets.
2. Umar Bin Khatab ra.Beliau adalah khalifah ke-dua sesudah Abu Bakar, dan termasuk salah seorang yang sangat dikasihi oleh Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya. Sebelum memeluk Islam, Beliau merupakan musuh yang paling ditakuti oleh kaum Muslimin. Namun semenjak ia bersyahadat dihadapan Rasul (tahun keenam sesudah Muhammad diangkat sebagai Nabi Allah), ia menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraish terhadap diri Nabi dan sahabat. Dijaman kekhalifaannya, Islam berkembang seluas-luasnya dari Timur hingga ke Barat, kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukkannya dalam waktu hanya satu tahun. Beliau meninggal dalam umur 64 tahun karena dibunuh, dikuburkan berdekatan dengan Abu Bakar dan Rasulullah dibekas rumah Aisyah yang sekarang terletak didalam masjid Nabawi di Madinah.
3. Usman Bin Affan ra.Khalifah ketiga setelah wafatnya Umar, pada pemerintahannyalah seluruh tulisan-tulisan wahyu yang pernah dicatat oleh sahabat semasa Rasul hidup dikumpulkan, kemudian disusun menurut susunan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw sehingga menjadi sebuah kitab (suci) sebagaimana yang kita dapati sekarang. Beliau meninggal dalam umur 82 tahun (ada yang meriwayatkan 88 tahun) dan dikuburkan di Baqi’.
4. Ali Bin Abi Thalib ra.Merupakan khalifah keempat, beliau terkenal dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Selain Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib juga terkenal keberaniannya didalam peperangan. Beliau sudah mengikuti Rasulullah sejak kecil dan hidup bersama Beliau sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya. Ali Bin Abi Thalib meninggal dalam umur 64 tahun dan dikuburkan di Koufah, Irak sekarang.
5. Thalhah Bin Abdullah ra. Masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar Siddiq ra, selalu aktif disetiap peperangan selain Perang Badar. Didalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw sehingga terhindar dari mata pedang musuh, sehingga putus jari-jari beliau. Thalhah Bin Abdullah gugur dalam Perang Jamal dimasa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dalam usia 64 tahun, dan dimakamkan di Basrah.
6. Zubair Bin Awaam Memeluk Islam juga karena Abu Bakar Siddiq ra, ikut berhijrah sebanyak dua kali ke Habasyah dan mengikuti semua peperangan. Beliau pun gugur dalam perang Jamal dan dikuburkan di Basrah pada umur 64 tahun.
7. Sa’ad bin Abi Waqqas Mengikuti Islam sejak umur 17 tahun dan mengikuti seluruh peperangan, pernah ditawan musuh lalu ditebus oleh Rasulullah dengan ke-2 ibu bapaknya sendiri sewaktu perang Uhud. Meninggal dalam usia 70 (ada yang meriwayatkan 82 tahun) dan dikuburkan di Baqi’.
8. Sa’id Bin ZaidSudah Islam sejak kecilnya, mengikuti semua peperangan kecuali Perang Badar. Beliau bersama Thalhah Bin Abdullah pernah diperintahkan oleh rasul untuk memata-matai gerakan musuh (Quraish). Meninggal dalam usia 70 tahun dikuburkan di Baqi’.
9. Abdurrahman Bin AufMemeluk Islam sejak kecilnya melalui Abu Bakar Siddiq dan mengikuti semua peperangan bersama Rasul. Turut berhijrah ke Habasyah sebanyak 2 kali. Meninggal pada umur 72 tahun (ada yang meriwayatkan 75 tahun), dimakamkan di baqi’.
10. Abu Ubaidillah Bin JarrahMasuk Islam bersama Usman bin Math’uun, turut berhijrah ke Habasyah pada periode kedua dan mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah Saw. Meninggal pada tahun 18 H di urdun (Syam) karena penyakit pes, dan dimakamkan di Urdun yang sampai saat ini masih sering diziarahi oleh kaum Muslimin.

Senin, 17 November 2008

Gaya Hidup Islami Dan Gaya Hidup Jahili

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ؛
Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.
Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: 1) gaya hidup Islami, dan 2) gaya hidup jahili.
Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu Tauhid dengan sunnah. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif dan rapuh, yaitu syirik dan mengikuti hawa nafsu. Inilah gaya hidup orang kafir.
Setiap Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim dalam berpolitik, ekonomi. Hukum dan seluruh aspek kehidupan, dan gaya hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam . Beliau bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَفَارِسَ وَالرُّوْمِ. فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَـئِكَ. (رواه البخاري عن أبي هريرة، صحيح).
Artinya: “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z, shahih).
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. قَالَ: فَمَنْ. (رواه البخاري عن أبي سعيد الخدري، صحيح).
Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z, shahih).
.
Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. (رواه أبو داود وأحمد عن ابن عباس).
Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).
Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?
Al-Munawi berkata: “Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
Tentu saja lingkup pembicaraan tentang tasyabbuh itu masih cukup luas, di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian, demokrasi dipercaya memberikan solusi ummat, riba. Na’udzubillahi min dzalik.اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Sutroh Didalam Sholat

Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:((لاَ تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ))(1)"Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah”Dari Abu Sa'id al-Khudri -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ))"Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan."[2]Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati antara dia dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu 'anhu-: Dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ))"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya, sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]Dalam satu riwayat:((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ))"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai sutrah dan mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di hadapannya."[4]Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu Sa'id yang lalu: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah dalam shalat adalah wajib."[5]Dia (asy-Syaukani) berkata: "Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu 'alaihi wasallam-:"Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa menghilangkan sebagian pahalanya.[6]Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:"Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i, yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, sebagaimana yang akan engkau lihat.Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.""[8]Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Dengan itu 'Umar menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah."[9]Dari Ibnu 'Umar, dia berkata: "Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya."[10]Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[11]Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu yang beliau perintahkan, sehingga 'Umar -radhiyallahu 'anhu- khalifah yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia ('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, bagaimana Ibnu Mas'ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika mendengar adzan."[12]Dari Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat sahabat-sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- keluar."[13]Dalam satu riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka shalat dua rakaat sebelum Maghrib."[14]Anas menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang sempit itu, bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Dari Nafi', dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."[15]Dan dari dia (Nafi') juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu 'Umar tidak shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]Salamah bin al-Akwa` menegakkan batu-batu di tanah, ketika dia hendak shalat, dia menghadap kepadanya.[17]Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang maupun di dalam bangunan. Dhahir hadits-hadits yang lalu serta perbuatan Nabi menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-Syaukani atas hal tersebut.[18]Ibnu Khuzaimah, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits yang memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:"Kabar-kabar ini semua shahih, sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan kepada orang yang shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain, sesungguhnya dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau shalat ke arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."[19]Setelah beberapa uraian di atas, maka kami (penulis) berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, bahwa:1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapangTidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak.[20]2. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat[21]Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.[22]3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat, sehingga dia bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelanaSedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang kurang dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:((إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ))"Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya."[23]Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata: "Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab: "Tiang setinggi pelana.""[24]Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:((إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدِ))"Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau perempuan atau anjing hitam."[25]Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang mencukupi, maka seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan.[26]Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[27] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah.[28] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.[29]Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[30]Dia berkata juga: "Perintah Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[31]Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[32]Setelah ini maka dikatakan:4. Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imamJanganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama, sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut, yaitu:Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[33]Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[34]Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak mengetahui yang demikian itu!!"Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:((هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللهِ لاَ يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ رُكُوْعَكُمْ، فَإِنِّي لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي))"Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang punggungku."[35]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat didepannya tidak membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[36]Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[37]
5. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari diaSedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[38]6. Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[39]Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[40]Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya."[41] -------------------------------------------------------------------------------[1] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih.[2] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.[3] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279), Ahmad di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no.(803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/ 272) dan hadits tersebut shahih.[4] Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.[5] Nailul Authar (3/ 2).[6] As-Sailul Jarraar (1/ 176).[7] Tamamul Minnah (hlm. 300).[8] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-dengan al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-washalkannya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).[9] Fathul Baari (1/ 577)[10] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279) dengan sanad yang shahih.[11] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (2/ 61), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.[12] Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit Daar Ibnul Qayyim Dammam.[13] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).[14] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).[15] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), dengan sanad shahih.[16] Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) dan dalam sanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.[17] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 278).[18] Nailul Authar (3/ 6).[19] Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu Khuzaimah dalam ash-Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.[20] Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan –di sana- berjalan melewati di hadapan orang-orang yangsedang shalat dan bantahan akan pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)(120-126) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat berdesak-desakan. Telah berkata tentangnya al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas Mukhtashar Khalil (1/ 209). Wallahu A'lam.[21] Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).[22] Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).[23] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).[24] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).[25] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).[26] Ahkam as-Sutrah (hlm 29).[27] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu Khuzaimah no. (807), Sunan Abu Dawud no. (686).[28] Lisanul 'Arab (3/ 1495).[29] Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).[30] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).[31] Rujukan yang lalu.[32] Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).[33] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).[34] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).[35] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), (471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).[36] Fathul Baari (1/ 572).[37] Faidhul Qadir (2/ 77).[38] Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).[39] Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).[40] Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).[41] Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).